BINGKAI
Oleh: Hernina
Nina menghentikan langkah. Persis di ujung jalan Bali, di dekat mesjid raya
terbesar di Kalimantan Selatan, Sabilal Muhtadin, bangunan mungil itu
ditemukannya. Berdinding bata merah dengan etalase kaca berbingkai kayu ulin
yang dimodifikasi dengan desain minimalis. Lapis demi lapis kacanya nampak muram,
kumuh, dan berdebu. Sungguh bangunan yang tampak kesepian. Dari balik pintunya
yang tertutup rapat, menandakan tidak ada keping kehidupan di dalamnya.
Nina menghela nafas. Tentu saja pintu itu tertutup rapat dan terkunci! gumam
benaknya kemudian karena kunci pembuka pintu itu sekarang berada dalam
genggamannya. Beberapa hari yang lalu seorang sahabat baiknya memberikan kunci
itu padanya. Toko kecil ini awalnya adalah sebuah butik, tetapi sahabatnya itu
harus mengikuti suaminya pindah dinas ke pulau Jawa. Masih tersisa masa sewa
tiga bulan lebih sebelum toko itu harus dikembalikan kepada pemiliknya. Dan
sahabatnya berharap dia bisa melakukan “sesuatu” di toko kecil tersebut sebelum
masa sewanya habis. Tapi melakukan apa? Nina mengangkat bahu. Entahlah...
Lalu tangannya terulur memasukkan kunci pada lubangnya. Memutarnya dua kali
dan sejurus kemudian pintu itu pun terbuka. Taburan debu halus terhampar di
segala sudut ruangan. Nina memalingkan wajah dan menutupi dengan tangannya
untuk menghindarkan diri dari kepulan debu yang menyesakkan nafas. Sesaat
kemudian Nina tahu apa yang pertama harus dilakukannya. Membersihkannya.
Ternyata amembersihkan toko kecil yang penuh debu itu tidak cukup memakan
waktu satu hari saja. Usai membersihkan toko kecil itu dalam beberapa hari,
Nina akhirnya menemukan langkah selanjutnya yaitu memberikan sentuhan kehidupan
di dalamnya.
Ketika lantai ubin itu tidak lagi bertabur debu, pelataran tidak lagi
berserak sampah, dan jendela kaca akhirnya bisa menembuskan kebeningannya,
serta lampu gantung yang sengaja dipasang di langit-langit ruang mulai
memantulkan cahayanya, maka tampaklah bahwa toko kecil nan mungil itu telah
siap mengalirkan sebuah kehidupan baru di antara keramaian kota Banjarmasin.
Nina mulai berfikir kembali. Apa yang harus dilakukannya dengan toko kecil
ini? Ia hanya memiliki beberapa helai kain sarung dan kain batik sasirangan
sisa dagangan yang ditinggalkan sahabatnya beberapa bulan yang lalu. Hanya itu
yang dimilikinya sebagai modal awal. Nina mulai berpikir ingin menjadikan toko
kecil ini menjadi sebuah art shop yang menjual cinderamata khas kota
Banjarmasin, salah satunya adalah kain sasirangan. Apalagi lokasi toko yang
cukup strategis, yaitu berdekatan dengan area hijau mesjid raya Sabilal
Muhtadin, wisata Siring sungai Martapura, dan tentu saja sering di lewati
turis-turis asing maupun domestik yang tengah berjalan-jalan menikmati
keindahan alam hijau kota Banjarmasin yang jarang sekali ditemukan sekarang
ini. Nina meletakkan sebatang pohon mainan di etalase. Lalu dibentangkannya
salah satu batik sasirangan bercorak pudak manggis dengan menjuntai di
dahannya. Sedemikian rupa diaturnya juntaian itu sehingga tampak artistik
sekaligus alami dilihat oleh mata. Tidak lupa juga beberapa pernak-pernik kecil
dipajang dan dipasang untuk melengkapinya agar semakin terlihat menarik.
Nina baru saja mengamati hasil kreasinya ketika mendadak pintu terbuka
perlahan. Seseorang pun muncul. Tatapan matanya langsung menyapu ke seluruh
ruangan lalu berhenti pada Nina yang diam memantung melihat kehadirannya.
“Is this shop open for public?” Tanyanya ragu-ragu. Sungguh keraguan yang
amat sangat pantas sekali karena memang masih tersisa banyak hal yang cukup
berantakan di sana-sini. Nina gugup sesaat. Mendadak keraguan menyergapnya.
Siapkah ia membuka toko ini? Hanya beberapa helai kain batik sasirangan yang
dimilikinya, Sungguh sebenarnya tidak layak untuk dijadikan modal awal sebuah
toko. Toko cinderamata pula! Mana cukup modal terbatas seperti itu dapat
memancing kedatangan para turis dan pengunjung dengan koleksi seadanya?
“Hmm... Maybe not today,” jawab Nina pelan sekali.
“Owh... I am sorry. Kalau begitu saya akan datang lain kali,” turis itu
berbalik sambul membuka pintu. Dia seorang wanita muda dengan garis wajah khas
bule-bule Amerika yang sering dilihat Nina di televisi maupun majalah-majalah
luar negeri.
“Ah, tidak! Jangan pergi dulu! Silahkan kalau anda ingin melihat-lihat
dulu,” cegah Nina sembari mempersilahkan turis itu untuk masuk ke dalam toko
kecilnya. Wanita asing itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan
sementara Nina mengikutinya langkahnya dari belakang.
“Toko cinderamata milikmu ini unik sekali. Sederhana tapi artistik dan
alami. Corak batikmu juga sangat berbeda. Warna merah dimotifnya sangat khas!”
turis itu meraba sehelai kain sasirangan berwarna merah yang terjuntai di
dahan.
“Benarkah? Ini adalah batik tradisional dari Kalimantan Selatan. Namanya
kain sasirangan. Sasirangan ini tidak diproduksi banyak orang, tetapi hanya terbatas
di pulau Kalimantan saja terutama Kalimantan Selatan sehingga tidak sepopuler
kain-kain batik dari pulau Jawa pada umumnya yang sering anda lihat,” jelas
Nina. Rasa gugupnya perlahan mulai menghilang setelah mendengar sanjungan dari
tamu asingnya itu.
“Ah, jadi ini adalah batik eksklusif? Pasti harganya sangat mahal!” kata
turis itu dengan nada suara cemas.
“Tidak juga. Harga kadang-kadang bisa menjadi relatif jika kita melihat dari
mutunya. Iya, kan?” ujar Nina sedikit menghibur.
“Wah! Jawaban yang sangat cerdas. Anda diplomatis sekali, khas seorang
pedagang!” puji turis itu senang.
Nina tertawa lepas.
“Dengan jawaban secerdas itu, kenapa tadi seolah tidak siap membuka toko
ini?” kembali turis itu menatapnya dengan serius.
Nina terkejut. Pertanyaan itu serasa sungguh menghentakkannya. Turis itu
seperti mengerti melihat Ekspresi wajah Nina yang kebingungungan.
“Apakah pertanyaanku aneh?” tanya turis itu lagi. Kali ini dengan alis yang
berkerut tajam.
“Ooh, tidak! Sama sekali tidak.. Hanya saja...” Nina kehilangan kalimatnya.
“Tidak apa-apa kalau kau tidak bisa menjawabnya. Ada banyak sekali
pertanyaan didalam hidup ini, tapi tidak semuanya menyediakan jawaban,” kata
turis itu terseyum lalu kembali memusatkan perhatiannya pada kain yang sedang
dipegangnya.
“Baiklah. Aku sangat menyukai kain yang kau jual ini, tapi uang yang ku bawa
nampaknya belum cukup untuk membelinya. Dan bisa ku tebak, kau pasti juga masih
belum siap untuk menerima kartu kredit. Iya, kan?” Tanya turis itu kemudian.
Nina tersipu malu disindir tamunya seperti itu..
“Ya, begitulah. Maaf sekali,” Jawab Nina pelan. Turis itu kembali tertawa.
“Tidak apa-apa. Aku akan datang lain kali. Jangan lupa, jangan jual kain ini
pada siapapun karena aku sudah sangat menyukainya dan sebagai pelanggan pertama
aku pasti akan sangat kecewa jika kau menjual kain ini kepada orang lain!” kata
turis itu lagi sembari menyerahkan kain sasirangan yang tadi di pegangnya
kepada Nina.
“Benarkah? Kalau begitu akan ku simpan kain sasirangan ini khusus untukmu.”
balas Nina dengan senang.
“Terima kasih. Namaku Michelle. Senang bertemu denganmu. Bye!” Kata turis
itu sambil melambaikan tangan kanannya ke arah Nina. Nina membalas lambaian
tangan wanita itu sembari tersenyum dan mulai menyimpan nama itu dalam
benaknya. Dalam hati dia berjanji akan selalu mengingat nama tamu pertamanya
itu, dan berharap nanti akan bisa menyimpan nama-nama tamu berikutnya.
***
Siang itu Nina sedang menikmati kerindangan pepohonan di sekitar halaman
mesjid raya Sabilal Muhtadin dari balik kaca jendela tokonya saat tiba-tiba
Michelle muncul dari balik pintu.
“How are you?” sambut Nina dengan ramah sambil menyongsong kedatangan
tamunya dari balik pintu.
“Wow, nampaknya kau ceria sekali hari ini,” seru Michelle terkejut. Nina
hanya membalasnya dengan senyuman sembari tersipu malu.
“Apa sudah kau siapkan kain pilihanku?” tanya Michelle kemudian.
“Tentu saja.” Jawab Nina mengangguk dan menyerahkan tas kertas coklat polos.
Rupanya kain sasirangan pesanan Michelle sudah terlebih dulu dibungkusnya dengan
rapi.
Michelle tersenyum menerimanya dan meneliti tampilan tas itu sekilas.
“Hei, apa nama tokomu? Biasanya ketika berbelanja di sebuah toko aku selalu
menemukan nama tokonya. Seperti di Bali dan di Jogja. Semua toko pasti
mencantumkan nama di pembungkusnya,” tanyanya dengan heran.
“Umm... Aku belum menemukan nama yang tepat,” jawab Nina menjelaskan.
Michelle mengangguk-angguk.
“Sebuah toko itu bisa diibaratkan sebagai orang. Harus ada namanya,” sambung
Michelle dengan santai.
“Mungkin. Tapi aku bahkan tidak tahu apakah beberapa minggu ke depan toko
ini bisa berlanjut atau tidak, sehingga aku sendiri tidak yakin apakah aku
memerlukan sebuah nama untuk toko ini.” Gumam Nina, kembali ragu.
“Oo my God! Nada pesimistis itu lagi. Sebenarnya hal apa yang membuatmu
menjadi begitu ragu?” tanya Michelle heran. Jujur saja dia tidak bisa
menyembunyikan rasa ingin tahunya.
Nina terdiam sesaat. Sebenarnya dia bukan tipe gadis yang bisa dengan
gampang menceritakan masalah hidupnya kepada orang lain apalagi orang asing
yang sama sekali tidak dikenalnya. Tetapi dia merasa bisa mempercayai Michelle.
“Sebenarnya toko ini ku buka tanpa bekal yang layak. Baik bekal harapan
maupun bekal materiil. Aku baru saja kena PHK di sebuah perusahaan kayu
terbesar di kota Banjarmasin ini, tidak tahu apa lagi yang bisa ku kerjakan.
Lalu seorang sahabat mengalihkan tempat ini untukku dan memberikan beberapa
helai kain sasirangan sisa dagangannya karena dia tidak bisa melanjutkan
usahanya lagi. Hanya itu bekal dan modal yang kumiliki. Aku sebenarnya sangat
berharap dengan toko kecil ini. Tapi dengan berbagai musibah yang semakin marak
terjadi di Indonesia seperti bom, bencana alam, pertikaian ini dan itu, apalagi
yang bisa ku harapkan? Apalagi ini Banjarmasin! Apa yang terkenal dari
Banjarmasin yang bisa menarik perhatian para wisatawan untuk berkunjng kemari?
Seandainya Banjarmasin ini seperti Jakarta, Yogjakarta, Surabaya atau bahkan
Bali, mungkin rasa pesimisku tidak akan sebesar ini. Haah... Mungkin sekarang
aku berada disini hanya untuk belajar berusaha saja. Setelah itu, tergantung
apa kehendak Tuhan.” Jelas Nina panjang. Di setiap helaan kata-katanya terdapat
nada sedih yang juga bisa dirasakan oleh Michelle.
“Aku mengerti dan aku juga tidak bisa membantu memecahkan masalahmu, tapi
bukankah kain-kain sasirangan ini suatu saat akan menemukan para pembelinya?
Mereka akan menghasilkan uang untukmu sehingga kau bisa memperluas usahamu
ini.” Kata Michelle teduh seolah ingin membesarkan hati Nina yang terlanjur
pesimis.
Nina hanya tersenyum, pahit menanggung beban.
“Tidak juga. Hanya anda satu-satunya tamu yang datang ke tempat ini, tidak
ada yang lain lagi.” Balasnya
Michelle terkejut sesaat. Lalu ikut tersenyum.
“Tapi bukankah segala sesuatu itu memang memerlukan waktu? Yang kau perlukan
sekarang hanya kesabaran dan ketabahan yang tidak terbatas. Pesimis seperti ini
tidak akan membantu membangkitkan hatimu,” kata Michelle lagi.
“Begitukah?” Tanya Nina dalam. Michelle mengangguk dengan semangat.
“Kau mau ku ceritakan suatu kisah?” tanya Michelle masil sambil tersenyum.
Nina langsung mengangguk cepat.
“Bagaimana keadaanku menurutmu? Terlihat sehat? Jika berpikir demikian
berarti selama ini kau sudah salah. Sebenarnya aku adalah penderita penyakit
leukimia akut dari sejak kecil. Aku sudah menjalani berbagai macam terapi
pengobatan maupun kemoterapi. Sekali waktu pernah aku dinyatakan sembuh oleh
dokter. Tapi ternyata hal itu hanya sementara. Terapi hanya mampu menidurkan
sel-sel kankerku, bukan mematikannya. Begitu sel-sel itu tumbuh kembali, aku
harus kembali mengulang terapi dengan dosis yang lebih berat. Aku sudah
menjalaninya selama tiga tahun belakangan ini, dan sekarang hasil check up-ku
yang terakhir menunjukkan gejala awal pembangkitan sel-sel kanker itu kembali,”
kata Michelle dengan nada ringan.
Nina tercekat. Hal itu sungguh tidak pernah diduganya. Michelle tampak
begitu sehat, meskipun terlihat sedikit kurus dan pucat, tapi matanya begitu
bercahaya. Sama sekali tidak menampakkan bahwa ia menyimpan penyakit yang
mematikan itu di dalam tubuhnya. Michelle tersenyum, meredakan keterkejutan
Nina yang terlihat dari matanya.
“Dokterku mengatakan, kemoterapi lanjutan akan amat sangat berat. Kekuatan
fisikku dikhawatirkan tidak akan lagi cukup mampu untuk menghadapinya. Bisa
jadi aku tidak akan bertahan dalam proses kemo itu, jadi kuputuskan untuk tidak
melakukannya lagi. Sekarang aku hanya punya bekal kesabaran dan ketabahan yang
tidak terbatas untuk “berdamai” dengan penyakitku ini. Mengikutinya terus sampai
saat itu tiba.”
Nina terperangah. Nyaris kehilangan semua kata-katanya.
“Tapi bagaimana mungkin anda bisa setabah ini?”
Michelle tertawa sesaat. “Seperti yang sudah ku katakan tadi, kesabaran dan
ketabahan yang tidak terbatas.”
Refleks Nina langsung meraih tangan Michelle. Menggenggam jemari wanita itu
dengan lembut. Seakan ingin berbagi sesuatu yang entah apa tapi cukup mampu
meredakan kegalauan hatinya.
“Sebenarnya ada satu pemikiran yang semakin mendorongku untuk tabah. Sebulan
yang lalu aku sempat berkunjung ke Negara Korea. Masyarakat disana percaya jika
ada seseorang yang meninggal maka rohnya akan terlahir kembali ke jasad yang
baru atau reinkarnasi. Mustahil memang, tapi tidak ada salahnya juga untuk
mencoba percaya. Karena itu, aku berpikir bahwa penyakit ini adalah seumpama
takdir dalam salah satu bingkai kehidupan diantara banyak bingkai kehidupan
yang ku jalani. Takdirku dengan penyakit ini saat ini adalah salah satunya.
Sesudah ini aku pasti akan menemukan bingkai kehidupanku yang lain. Bisa saja
aku akan terlahir kembali. Mungkin sebagai anak petani, seekor burung, putri
raja, atau apa saja. Jadi, mengapa tidak ku jalani semua dengan tabah?
Seharusnya aku justru bersyukur, berkesempatan karena memiliki berbagai bingkai
kehidupan lebih dari yang dimiliki oleh orang lain.”
Nina mengerjapkan mata. Cara berfikir wanita yang ada disampingnya saat ini
begitu unik, seakan sedang menghadapkannya pada sebuah cermin yang
mengingatkannya pada perjalanan hidupnya selama ini. Perjalanan kariernya yang
terhenti setelah di PHK, bisa jadi adalah senuah bagian bingkai kehidupannya
juga. Sekarang, keberadaannya di toko kecil ini, barangkali akan memberikan
bingkai lain dalam kehidupannya. Berganti bingkai adalah berganti pengalaman
hidup dan juga petualangan yang baru. Hidup tidak lantas berhenti ketika sebuah
bingkai melepaskan diri karena masih banyak bingkai kehidupan yang lain. Dan
setiap bingkai menyajikan harapan yang layak untuk diperjuangkan.
Mendadak saja Nina seperti menemukan sesuatu. Digenggamya tangan Michelle
kuat-kuat.
“Aku sudah menemukannya!” serunya dengan penuh kegembiraan.
“Menemukan apa?” tanya Michelle terkejut.
“Nama untuk toko ini. Bingkai!” jawab Nina dengan mata yang berbinar-binar.
“Oh, ya?” tanggap Michelle nampak senang.
“Ya, Anda lah pemberi inspirasi itu. Anda benar, kehidupan tidak akan
berhenti begitu saja hanya karena sesuatu yang menghadang atau bahkan ingin
menghentikan langkah kita. Pasti ada bingkai kehidupan lain yang sedang
menunggu. Toko kecil ini akan menjadi salah satu bingkai dalam hidupku.” Jelas
Nina girang dan penuh keyakinan. Michelle tidak kalah senang.
“Baiklah. Aku akan menyimpan tokomu yang kecil ini dalam kenanganku, tapi
berjanjilah untukku suatu hal,” pinta Michelle, menyimpan harapan.
“Apa?” tanya Nina kemudian.
“Keberhasilan memang tidak selalu bisa diraih oleh setiap orang, tapi
harapan pasti selalu ada dan tersedia bagi orang-orang yang ingin
menggantungkan keinginannya. Jadi jangan biarkan semangatmu yang mulai menyala
itu kembali padam. Karena mungkin saja suatu saat nanti aku berkesempatan lagi
menemukan toko ini dan kita bisa bertemu kembali di bingkai kehidupan yang
berikutnya.” Kata Michelle pelan. Nina mengangguk dan dalam hati berjanji akan
terus mengingat janjinya pada Michelle.
Sekarang Nina tahu bahwa ada banyak harapan yang disimpan dalam untaian
kalimat itu. Harapan yang layak untuk dihargai dan diperjuangkan. Itulah yang
harus dilakukannya sebagai awal pada salah satu bingkai kehidupannya.
-Tamat-
Menarik....
BalasHapusSata pesan kain sasirangannya satu ya Bu?
mampir juga ke www.haitami44.wordpress.com
hahaha :D
Hapusyang eksklusif lebih mahal yaa..
saya sudah melihat2 "mah" anda, lebih hebat dr "rumah" saya.. :D